Bulls Eyes: Menduga yang Tak Terduga - Aditya Evan Yudistira
Aditya Evan Yudistira, seorang product designer yang sekarang bekerja di Tokopedia ini ternyata memiliki cerita unik dalam perjalanan hidup dan kariernya. Biasa disapa Evan, dia memang semenjak kuliah sudah terbiasa dengan coding, dan akhirnya mengawali kariernya sebagai front-end developer di sebuah agency di Malang pada tahun 2018.
Namun, merasa tidak puas dengan hasil yang diberikan, dan karena background-nya yang seorang desainer, Evan pun mulai menunjukkan ketertarikan pada UI/UX. Mengira ini akan mudah, Evan mengalami hal yang sebaliknya. “Awalnya mudah. Tapi semakin ke sini semakin sulit,” katanya. Namun dia tidak menyerah dan terus mengembangkan diri. Sebelum masuk ke Tokopedia, Evan sempat mengambil pekerjaan yang bersifat kontrak dan freelance.
Apa Itu Sukses?
Ketika ditanya apakah dirinya merasa sudah berada di titik sukses, Evan menganalogikannya dengan bermain game. “Success is not the end of a journey,” katanya. Evan juga menambahkan, “Success is like a checkpoint.” Karena kalau seseorang sekarang bilang, “Saya sudah sukses,” maka dia akan berhenti berkembang. “Pasti selalu ada step ke depannya.”
Berbicara tentang alternatif sukses, Evan pun mengaku kalau dirinya memiliki keinginan untuk berkecimpung di dunia kuliner, yaitu memiliki warteg. Mengapa warteg? “Murah, menjamur, dan masuk ke semua kalangan,” katanya. Memiliki kompetitor banyak bukanlah masalah untuknya karena target pasar warteg sangatlah besar.
Selain itu, ketika ditanya, jikalau bukan seorang product designer, kira-kira pekerjaan apa yang Evan ingin lakukan, dia pun menjawab, “Ingin jadi astronom.” Menurutnya, menjadi seorang astronom adalah sesuatu yang menarik dan tidak semua orang paham. Dan kita pun juga masih memiliki banyak hal yang kita tidak ketahui di luar angkasa sana.
Product Designer: Garda Terdepan User
Evan berpendapat bahwa seorang desainer adalah garda terdepan yang akan memperjuangkan apa yang user butuh. Apalagi di Indonesia, perubahan akan behavior di masyarakat terjadi sangatlah cepat. Tren seperti, “Kamu nanya?”, “Apaan tuh?” dapat membuat seluruh bisnis tergerak dan menyesuaikan strategi bisnis mereka. “Sebuah produk harus dapat memenuhi kebutuhan user,” jelas Evan.
Tapi ada satu challenge besar. Terkadang, user sendiri tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Makanya, “expecting the unexpected” menjadi kunci ketika Evan menjalankan pekerjaannya. Cara terbaik untuk menghadapi ini adalah dengan melakukan user interview. Idealnya 5-15 orang. Karena jika terlalu banyak, jawaban akan mulai mirip satu sama lain. Mengejar kualitas lebih baik daripada mengejar kuantitas. Namun sarannya, tidak semua produk juga perlu ada user interview. Solusi lain ada seperti A/B test dan lain-lain.
Ada satu lagi yang sebenarnya menjadi challenge untuk product designer, yaitu masalah dengan stakeholders, baik itu dengan engineer maupun dengan sisi bisnis. Bedanya jika berselisih dengan engineer, biasanya masih dalam batasan produk dan pembahasannya product-centric. Sedangkan dengan bisnis, lebih ke “Bagaimana produk ini bisa menghasilkan revenue yang diinginkan?”
“Siapa pun lawan bicaranya, seorang product designer harus memiliki open mindset.”
Apa pun proposalnya, harus diterima dulu. Ditelaah apakah sesuai dengan user experience. Kalau tidak? Bukan ditolak, tapi dicari solusi bagaimana supaya sesuai dengan user experience yang ada. Untuk itu, seorang product designer tidak boleh terlalu menutup diri.
Menjadi Product Designer
Menurut Evan, ada setidaknya 3 hal yang harus seseorang lakukan untuk dapat menjadi seorang product designer yang andal. Pertama adalah fokus dengan user. Seorang designer harus kenal user-nya; siapa saja yang akan menggunakan produk dan bagaimana behavior mereka. Karena, “We’re serving their needs with our product,” kata Evan.
Yang kedua adalah practice. Banyak yang ingin menjadi designer tapi mereka tidak pernah latihan menggunakan alat-alatnya. Evan mengibaratkan hal ini dengan orang yang sedang pergi berperang namun tidak tahu cara menggunakan senjatanya. Bahayanya adalah malah dapat melukai teman sendiri. Memiliki keahlian dalam tools penting. Karena ini adalah hard skill dan tools juga tidak akan pernah berhenti berkembang.
Yang terakhir adalah belajar soft skill. Menurut Evan, seorang product designer harus dapat berkomunikasi dengan tim tech maupun tim bisnis. Karena produk tidak akan ada tanpa tim tech, dan produk tidak akan dapat masuk pasar tanpa tim bisnis. Perlu adanya keharmonisan dalam komunikasi dengan kedua sisi ini.
“Kesempatan Tidak Datang Dua Kali”
Memasuki sesi di mana Evan ditanya mengenai advice apa yang dia dapat berikan ke designer yang sedang meniti karier untuk dapat maju ke depan, dia suggest, “Kesempatan tidak datang dua kali. Kalau berani initiate ide, initiate saja.” Menurutnya designer zaman sekarang harus dapat memulai sebuah ide fresh. Tidak seperti dulu yang hanya melihat backlog saja.
Selain itu, Evan juga menghimbau designer muda untuk memiliki empati yang tinggi ketika mendesain. “Designer yang tidak memiliki empati akan mendesain seenaknya sendiri,” katanya. Memiliki kemauan belajar yang tinggi juga menjadi salah satu rekomendasi Evan untuk designer yang ingin sukses meniti karier mereka.
Mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang “cuek, ya sudah, dan gas aja”, Evan juga menekankan kembali untuk menunggu sesuatu yang tidak diduga. Banyak hal yang akan terjadi tidak sesuai ekspektasi. Ketika memiliki ekspektasi tinggi, rasa kecewa juga akan ikut tinggi. Akan banyak pihak yang memiliki kepentingan dalam sebuah design yang dibuat. “Anggaplah itu garam. Nasi goreng mana enak tanpa garam, ya ‘kan?” candanya.
Tonton selengkapnya di episode #StoriesWorthTelling - Bulls Eyes ini ya!